Bima Sakti (dalam bahasa Inggris Milky Way, yang berasal dari bahasa Latin Via Lactea, diambil lagi dari bahasa Yunani Γαλαξίας Galaxias yang berarti "susu") adalah galaksi spiral yang besar termasuk dalam tipe Hubble SBbc dengan total masa sekitar 1012 massa matahari, yang memiliki 200-400 milyar bintang dengan diameter 100.000 tahun cahaya dan ketebalan 1000 tahun cahaya.[1] Jarak antara matahari dan pusat galaksi diperkirakan 27.700 tahun cahaya. Di dalam galaksi bima sakti terdapat sistem Tata Surya, yang didalamnya terdapat planet Bumi tempat kita tinggal. Diduga di pusat galaksi bersemayam lubang hitam supermasif (black hole). Sagitarius A dianggap sebagai lokasi lubang hitam supermasif ini. Tata surya kita memerlukan waktu 225–250 juta tahun untuk menyelesaikan satu orbit, jadi telah 20–25 kali mengitari pusat galaksi dari sejak saat terbentuknya. Kecepatan orbit tata surya adalah 217 km/d
Di dalam bahasa Indonesia, istilah "Bima Sakti" berasal dari tokoh berkulit hitam dalam pewayangan, yaitu Bima. Istilah ini muncul karena orang Jawa kuno melihatnya sebagai bayangan hitam yang dikelilingi semacam "aura" cemerlang. Sementara itu, masyarakat Barat menyebutnya "milky way" sebab mereka melihatnya sebagai pita kabut bercahaya putih yang membentang pada bola langit. Pita kabut atau "aura" cemerlang ini sebenarnya adalah kumpulan jutaan bintang dan juga sevolume besar debu dan gas yang terletak di piringan/bidang galaksi. Pita ini tampak paling terang di sekitar rasi Sagitarius, dan lokasi tersebut memang diyakini sebagai pusat galaksi.
Diperkirakan ada 4 spiral utama dan 2 yang lebih kecil yang bermula dari tengah galaksi. Dan dinamakan sebagai berikut:
* Lengan Norma
* Lengan Scutum-Crux
* Lengan Sagitarius
* Lengan Orion atau Lengan Lokal
* Lengan Perseus
* Lengan Cygnus atau Lengan Luar
Dimensi
Cakram bintang Bima Sakti kira kira berdiameter 100.000 tahun cahaya (9.5×1017 km), dan diperkirakan rata rata mempunyai ketebalan 1000 tahun cahaya (9.5×1015 km). Bima Sakti diestimasikan mempunyai setidaknya 200 milyar bintang dan mungkin sebanyak 400 milyar bintang. Angka pastinya tergantung dari jumlah bintang bermasa rendah, yang sangat sulit dipastikan. Melebihi bagian cakram bintang, terletak piringan gas yang lebih tebal. Observasi terakhir mengindikasikan bahwa piringan gas Bima Sakti mempunyai ketebalan sekitar 12.000 tahun cahaya (1.1×1017 km) - sebesar dua kali nilai yang diterima sebelumnya. Sebagai panduan ukuran fisk Bima Sakti, sebagai misal kalau diameternya dijadikan 100 m, Tata Surya, termasuk awan oort, akan berukuran tidak lebih dari 1 mm.
Cahaya galaksi memancar lebih jauh, tapi ini dibatasi oleh orbit dari dua satelit Bima Sakti yaitu Awan Magellan Besar dan Kecil (the Large and the Small Magellanic Clouds), yang memiliki perigalacticon kurang lebih 180.000 tahun cahaya (1.7×1018 km). Pada jarak ini dan lebih jauh selanjutnya, orbit-orbit dari obyek sekitar akan didisrupsi oleh awan magelan, dan obyek obyek itu kemungkinan besar akan terhempas keluar dari Bima Sakti.
Perhitungan terakhir oleh teleskop Very Long Baseline Array (VLBA) menunjukkan bahwa ukuran Bima Saki adalah lebih besar dari yang diketahui sebelumnya. Ukuran Bima Sakti terakhir sekarang dipercaya adalah mirip seperti tetangga galaksi terdekat, galaksi Andromeda. Dengan menggunakan VLBA untuk mengukur geseran daerah formasi bintang-bintang yang terletak jauh ketika bumi sedang mengorbit di posisi yang berlawanan dari matahari, para ilmuwan dapat mengukur jarak dari berbagai daerah itu dengan assumsi yang lebih sedikit dari usaha pengukuran sebelumnya. Estimasi kecepatan rotasi terbaru dan lebih akurat (yang kemudian menunjukan dark matter yang terkandung di dalam galaksi) adalah 914,000 km/jam. Nilai ini jauh lebih tinggi dari nilai umum sebelumnya 792,000 km/jam. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa total masa Bima Sakti adalah sekitar 3 trillion bintang, atau kira kira 50% lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Komet adalah benda angkasa yang mirip asteroid, tetapi hampir seluruhnya terbentuk dari gas (karbon dioksida, metana, air) dan debu yang membeku. Komet memiliki orbit atau lintasan yang berbentuk elips, lebih lonjong dan panjang daripada orbit planet. Komet yang cerah pastinya menarik perhatian ramai.
Ciri fisik
Ketika komet menghampiri bagian-dalam Tata Surya, radiasi dari matahari menyebabkan lapisan es terluarnya menguap. Arus debu dan gas yang dihasilkan membentuk suatu atmosfer yang besar tetapi sangat tipis di sekeliling komet, disebut coma. Akibat tekanan radiasi matahari dan angin matahari pada coma ini, terbentuklah ekor raksasa yang menjauhi matahari.
Coma dan ekor komet membalikkan cahaya matahari dan bisa dilihat dari bumi jika komet itu cukup dekat. Ekor komet berbeda-beda bentuk dan ukurannya. Semakin dekat komet tersebut dengan matahari, semakin panjanglah ekornya. Ada juga komet yang tidak berekor
Komet bergerak mengelilingi matahari berkali-kali, tetapi peredarannya memakan waktu yang lama. Komet dibedakankan menurut rentangan waktu orbitnya. Rentangan waktu pendek adalah kurang dari 200 tahun dan rentangan waktu yang panjang adalah lebih dari 200 tahun. Secara umumnya bentuk orbit komet adalah elips.
Saturnus adalah sebuah planet yang terletak di tata surya dimana planet ini terkenal sebagai planet bercincin. Jarak Saturnus sangat jauh dari Matahari. Karena itulah, Saturnus tampak tidak terlalu cerah dari Bumi. Saturnus berevolusi dalam waktu 29,46 tahun. Setiap 378 hari, Bumi, Saturnus, dan Matahari akan berada dalam satu garis lurus. Selain berevolusi, Saturnus juga berotasi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 10 jam 14 menit.
Saturnus memiliki kerapatan yang rendah karena sebagian besar zat penyusunnya berupa gas dan cairan. Inti Saturnus diperkirakan terdiri dari batuan padat. Atmosfer Saturnus tersusun atas gas amonia dan metana. Hal ini tentu tidak memungkinkan adanya kehidupan di Saturnus
Cincin Saturnus sangat unik. Terdapat beribu-ribu cincin yang mengelilingi planet ini. Bahan pembentuk cincin ini masih belum diketahui. Para ilmuwan berpendapat, cincin itu tidak mungkin terbuat dari lempengan padat karena akan hancur oleh gaya sentrifugal. Namun, tidak mungkin juga terbuat dari zat cair karena gaya sentrifugal akan mengakibatkan timbulnya gelombang. Jadi, sejauh ini, diperkirakan yang paling mungkin membentuk cincin-cincin itu adalah bongkahan-bongkahan es meteorit.
Hingga 2006, Saturnus diketahui memiliki 56 buah satelit alami. Tujuh diantaranya cukup masif untuk dapat runtuh berbentuk bola di bawah gaya gravitasinya sendiri. Mereka adalah Mimas, Enceladus, Tethys, Dione, Rhea, Titan (Satelit terbesar dengan ukuran lebih besar dari planet Merkurius), dan Iapetus.
Saturnus memiliki bentuk yang diratakan di kutub, dan dibengkakkan keluar disekitar khatulistiwa. Diameter khatulistiwa Saturnus sebesar 120.536 km (74.867 mil) dimana diameter dari Kutub Utara ke Kutub Selatan sebesar 108.728 km (67.535 mil), berbeda sebesar 9%. Bentuk yang diratakan ini disebabkan oleh rotasinya yang sangat cepat, merotasi setiap 10 jam 14 menit waktu Bumi. Saturnus adalah satu-satunya Planet di tata surya yang massa jenisnya lebih sedikit daripada air. Walaupun inti Saturnus memiliki massa jenis yang lebih besar daripada air, planet ini memiliki atmosfer yang mengandung gas, sehingga massa jenis relatif planet ini sebesar is 0.69 g/cm³ (lebih sedikit daripada air), sebagai hasilnya, jika Saturnus diletakan diatas kolam yang penuh air, Saturnus akan mengapung.
Atmosfer
Awan heksagonal kutub utara yang pertama dideteksi oleh Voyager 1 dan akhirnya dipastikan oleh Cassini.
Komposisi
Bagian luar atmosfer Saturnus terbuat dari 96.7% hidrogen dan 3% helium, 0.2% metana dan 0.02% amonia. Pada atmosfer Saturnus juga terdapat sedikit kandungan asetilena, etana dan fosfin.[10]
Awan
Awan Saturnus, seperti halnya Yupiter, merotasi dengan kecepatan yang berbeda-beda bergantung dari posisi lintangnya. Tidak seperti Yupiter, awan Saturnus lebih redup dan awan Saturnus lebih lebar di khatulistiwa. Awan terendah Saturnus dibuat oleh air es, dan dengan ketebalan sekitar 10 kilometer. Temperatur Saturnus cukup rendah, dengan suhu 250 K (-10°F, -23°C). Awan diatasnya, memiliki ketebalan 50 kilometer, terbuat dari es amonium hidrogensulfida (simbol kimia: NH4HS), dan diatas awan tersebut terdapat awan es amonia dengan ketebalan 80 kilometer. Bagian teratas dibuat dari gas hidrogen dan helium, dimana tebalnya sekitar 200 dan 270 kilometer. Aurora juga diketahui terbentuk di mesosfer Saturnus.[10] Temperatur di awan bagian atas Saturnus sangat rendah, yaitu sebesar 98 K (-283°F, -175°C). Temperatur di awan bagian dalam Saturnus lebih besar daripada yang diluar karena panas yang diproduksi di bagian dalam Saturn.[11] Angin Saturnus merupakan salah satu dari angin terkencang di Tata Surya, mencapai kecepatan 500 m/s (1.800 km/h, 1.118 mph),[12] yang jauh lebih cepat daripada angin yang ada di Bumi.
Pada Atmosfer Saturnus juga terdapat awan berbentuk lonjong yang mirip dengan awan berbentuk lonjong yang lebih jelas yang ada di Yupiter. Titik lonjong ini adalah badai besar, mirip dengan angin taufan yang ada di Bumi. Pada tahun 1990, Teleskop Hubble mendeteksi awan putih didekat khatulistiwa Saturnus. Badai seperti tahun 1990 diketahui dengan nama Bintik Putih Raksasa, badai unik Saturnus yang hanya ada dalam waktu yang pendek dan muncul setiap 30 tahun waktu Bumi.[13] Bintik Putih Raksasa juga ditemukan tahun 1876, 1903, 1933, dan tahun 1960. Jika lingkaran konstan ini berlanjut, diprediksi bahwa pada tahun 2020 bintik putih besar akan terbentuk kembali.[14]
Pesawat angkasa Voyager 1 mendeteksi awan heksagonal didekat kutub utara Saturnus sekitar bujur 78° utara. Cassini-Huygens nantinya mengkonfirmasi hal ini tahun 2006. Tidak seperti kutub utara, kutub selatan tidak menunjukan bentuk awan heksagonal dan yang menarik, Cassini menemukan badai mirip dengan siklon tropis terkunci di kutub selatan dengan dinding mata yang jelas. Penemuan ini mendapat catatan karena tidak ada planet lain kecuali Bumi di tata surya yang memiliki dinding mata.
Inti Planet
Inti Planet Saturnus mirip dengan Yupiter. Planet ini memiliki inti planet di pusatnya dan sangat panas, temperaturnya mencapai 15.000 K (26.540 °F, 14.730 °C). Inti Planet Saturnus sangat panas dan inti planet ini meradiasi sekitar 21/2 kali lebih panas daripada jumlah energi yang diterima Saturnus dari Matahari.[11] Inti Planet Saturnus sama
Mars adalah planet terdekat keempat dari Matahari. Namanya diambil dari nama Dewa Yunani kuno untuk perang. Namun planet ini juga dikenal sebagai planet merah karena penampakannya yang kemerah-merahan.
Lingkungan Mars lebih bersahabat bagi kehidupan dibandingkan keadaan Planet Venus. Namun begitu, keadaannya tidak cukup ideal untuk manusia. Suhu udara yang cukup rendah dan tekanan udara yang rendah, ditambah dengan komposisi udara yang sebagian besar karbondioksida, menyebabkan manusia harus menggunakan alat bantu pernafasan jika ingin tinggal di sana. Misi-misi ke planet merah ini, sampai penghujung abad ke-20, belum menemukan jejak kehidupan di sana, meskipun yang amat sederhana.
Planet ini memiliki 2 buah satelit, yaitu Phobos dan Deimos. Planet ini mengorbit selama 687 hari dalam mengelilingi matahari. Planet ini juga berotasi. Kala rotasinya 24,62 jam.
Dalam mitologi Yunani, Mars identik dengan dewa perang, yaitu Aries, putra dari Zeus dan Hera.
Di planet Mars, terdapat sebuah fitur unik di daerah Cydonia Mensae. Fitur ini merupakan sebuah perbukitan yang bila dilihat dari atas nampak sebagai sebuah wajah manusia. Banyak orang yang menganggapnya sebagai sebuah bukti dari peradaban yang telah lama musnah di Mars, walaupun di masa kini, telah terbukti bahwa fitur tersebut hanyalah sebuah kenampakan alam biasa.
Venus adalah planet terdekat kedua dari matahari setelah Merkurius. Planet ini memiliki radius 6.052 km dan mengelilingi matahari dalam waktu 225 hari. Atmosfer Venus mengandung 97% karbondioksida (CO2) dan 3% nitrogen, sehingga hampir tidak mungkin terdapat kehidupan.
Arah rotasi Venus berlawanan dengan arah rotasi planet-planet lain. Selain itu, jangka waktu rotasi Venus lebih lama daripada jangka waktu revolusinya dalam mengelilingi matahari.
Kandungan atmosfernya yang pekat dengan CO2 menyebabkan suhu permukaannya sangat tinggi akibat efek rumah kaca. Atmosfer Venus tebal dan selalu diselubungi oleh awan. Pakar astrobiologi berspekulasi bahwa pada lapisan awan Venus termobakteri tertentu masih dapat melangsungkan kehidupan
Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Terdapat bintang semu dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri, tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang nyata adalah bintang yang menghasilkan cahaya sendiri. Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa yang menghasilkan cahaya sendiri (bintang nyata).
Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah:
Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah:
“
Semua benda masif (bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah melangsungkan pembangkitan energi melalui reaksi fusi nuklir.
”
Oleh sebab itu bintang katai putih dan bintang netron yang sudah tidak memancarkan cahaya atau energi tetap disebut sebagai bintang. Bintang terdekat dengan Bumi adalah Matahari pada jarak sekitar 149,680,000 kilometer, diikuti oleh Proxima Centauri dalam rasi bintang Centaurus berjarak sekitar empat tahun cahaya.
Sejarah Pengamatan
Bintang-bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan. Bintang-bintang digunakan dalam praktek-praktek keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok tanam. Kalender Gregorian, yang digunakan hampir di semua bagian dunia, adalah kalender matahari, mendasarkan diri pada posisi Bumi relatif terhadap bintang terdekat, Matahari.
Astronom-astronom awal seperti Tycho Brahe berhasil mengenali ‘bintang-bintang baru’ di langit (kemudian dinamakan novae) menunjukkan bahwa langit tidaklah kekal. Pada 1584 Giordano Bruno mengusulkan bahwa bintang-bintang sebenarnya adalah matahari-matahari lain, dan mungkin saja memiliki planet-planet seperti bumi di dalam orbitnya,[1] ide yang telah diusulkan sebelumnya oleh filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Democritus dan Epicurus.[2] Pada abad berikutnya, ide bahwa bintang adalah matahari yang jauh mencapai konsensus di antara para astronom. Untuk menjelaskan mengapa bintang-bintang ini tidak memberikan tarikan gravitasi pada tata surya, Isaac Newton mengusulkan bahwa bintang-bintang terdistribusi secara merata di seluruh langit, sebuah ide yang berasal dari teolog Richard Bentley.[3]
Astronom Italia Geminiano Montanari merekam adanya perubahan luminositas pada bintang Algol pada 1667. Edmond Halley menerbitkan pengukuran pertama gerak diri dari sepasang bintang “tetap” dekat, memperlihatkan bahwa mereka berubah posisi dari sejak pengukuran yang dilakukan Ptolemaeus dan Hipparchus. Pengukuran langsung jarak bintang 61 Cygni dilakukan pada 1838 oleh Friedrich Bessel menggunakan teknik paralaks.
William Herschel adalah astronom pertama yang mencoba menentukan distribusi bintang di langit. Selama 1780an ia melakukan pencacahan di sekitar 600 daerah langit berbeda. Ia kemudian menyimpulkan bahwa jumlah bintang bertambah secara tetap ke suatu arah langit, yakni pusat galaksi Bima Sakti. Putranya John Herschel mengulangi pekerjaan yang sama di hemisfer langit sebelah selatan dan menemukan hasil yang sama.[4] Selain itu William Herschel juga menemukan bahwa beberapa pasangan bintang bukanlah bintang-bintang yang secara kebetulan berada dalam satu arah garis pandang, melainkan mereka memang secara fisik berpasangan membentuk sistem bintang ganda.
Radiasi
Energi yang dihasilkan bintang, sebagai hasil samping dari reaksi fusi nuklir, dipancarkan ke luar angkasa sebagai radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang dimanifestasikan sebagai angin bintang (yang berwujud sebagai pancaran tetap partikel-partikel bermuatan listrik seperti proton bebas, partikel alpha dan partikel beta yang berasal dari bagian terluar bintang) dan pancaran tetap neutrino yang berasal dari inti bintang.
Hampir semua informasi yang kita miliki mengenai bintang yang lebih jauh dari Matahari diturunkan dari pengamatan radiasi elektromagnetiknya, yang terentang dari panjang gelombang radio hingga sinar gamma. Namun tidak semua rentang panjang gelombang tersebut dapat diterima oleh teleskop landas Bumi. Hanya gelombang radio dan gelombang cahaya yang dapat diteruskan oleh atmosfer Bumi dan menciptakan ‘jendela radio’ dan ‘jendela optik’. Teleskop-teleskop luar angkasa telah diluncurkan untuk mengamati bintang-bintang pada panjang gelombang lain.
Banyaknya radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh bintang dipengaruhi terutama oleh luas permukaan, suhu dan komposisi kimia dari bagian luar (fotosfer) bintang tersebut. Pada akhirnya kita dapat menduga kondisi di bagian dalam bintang, karena apa yang terjadi di permukaan pastilah sangat dipengaruhi oleh bagian yang lebih dalam.
Dengan menelaah spektrum bintang, astronom dapat menentukan temperatur permukaan, gravitasi permukaan, metalisitas, dan kecepatan rotasi dari sebuah bintang. Jika jarak bisa ditentukan, misal dengan metode paralaks, maka luminositas bintang dapat diturunkan. Massa, radius, gravitasi permukaan, dan periode rotasi kemudian dapat diperkirakan dari pemodelan. Massa bintang dapat juga diukur secara langsung untuk bintang-bintang yang berada dalam sistem bintang ganda atau melalui metode mikrolensing. Pada akhirnya astronom dapat memperkirakan umur sebuah bintang dari parameter-parameter di atas.
Fluks pancaran
Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau energi yang diterima permukaan kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan watt per cm2 (satuan internasional) atau erg per detik per cm2 (satuan cgs).
Luminositas
Di dalam astronomi, luminositas adalah jumlah cahaya atau energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang ke segala arah per satuan waktu. Biasanya satuan luminositas dinyatakan dalam watt (satuan internasional), erg per detik (satuan cgs) atau luminositas matahari. Dengan menganggap bahwa bintang adalah sebuah benda hitam sempurna, maka luminositasnya adalah,
dimana L adalah luminositas, σ adalah tetapan Stefan-Boltzmann, R adalah jari-jari bintang dan Te adalah temperatur efektif bintang.
Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan menggunakan metode paralaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan melalui hubungan
dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat.
Magnitudo
Secara tradisi kecerahan bintang dinyatakan dalam satuan magnitudo. Kecerahan bintang yang kita amati, baik menggunakan mata bugil maupun teleskop, dinyatakan oleh magnitudo tampak (m) atau magnitudo semu. Secara tradisi magnitudo semu bintang yang dapat dilihat oleh mata bugil dibagi dari 1 hingga 6, di mana satu ialah bintang paling cerah, dan 6 sebagai bintang paling redup. Terdapat juga kecerahan yang diukur secara mutlak, yang menyatakan kecerahan bintang sebenarnya. Kecerahan ini dikenal sebagai magnitudo mutlak (M), dan terentang antara +26.0 sampai -26.5. Magnitudo adalah besaran lain dalam menyatakan fluks pancaran, yang terhubungkan melalui persamaan,
dimana m adalah magnitudo semu dan E adalah fluks pancaran.
Satuan pengukuran
Kebanyakan parameter-parameter bintang dinyatakan dalam satuan SI, tetapi satuan cgs kadang-kadang digunakan (misalnya luminositas dinyatakan dalam satuan erg per detik). Penggunaan satuan cgs lebih bersifat tradisi daripada sebuah konvensi. Seringkali pula massa, luminositas dan jari-jari bintang dinyatakan dalam satuan matahari, mengingat Matahari adalah bintang yang paling banyak dipelajari dan diketahui parameter-parameter fisisnya. Untuk Matahari, parameter-parameter berikut diketahui:
massa Matahari:
kg[5]
luminositas Matahari:
watt[5]
radius Matahari:
m[6]
Skala panjang seperti setengah sumbu besar dari sebuah orbit sistem bintang ganda seringkali dinyatakan dalam satuan astronomi (AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari.
Klasifikasi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Klasifikasi bintang
Berdasarkan spektrumnya, bintang dibagi ke dalam 7 kelas utama yang dinyatakan dengan huruf O, B, A, F, G, K, M yang juga menunjukkan urutan suhu, warna dan komposisi-kimianya. Klasifikasi ini dikembangkan oleh Observatorium Universitas Harvard dan Annie Jump Cannon pada tahun 1920an dan dikenal sebagai sistem klasifikasi Harvard. Untuk mengingat urutan penggolongan ini biasanya digunakan kalimat "Oh Be A Fine Girl Kiss Me". Dengan kualitas spektrogram yang lebih baik memungkinkan penggolongan ke dalam 10 sub-kelas yang diindikasikan oleh sebuah bilangan (0 hingga 9) yang mengikuti huruf. Sudah menjadi kebiasaan untuk menyebut bintang-bintang di awal urutan sebagai bintang tipe awal dan yang di akhir urutan sebagai bintang tipe akhir. Jadi, bintang A0 bertipe lebih awal daripada F5, dan K0 lebih awal daripada K5.
Kelas Warna Suhu Permukaan °C Contoh
O Biru > 25,000 Spica
B Putih-Biru 11.000 - 25.000 Rigel
A Putih 7.500 - 11.000 Sirius
F Putih-Kuning 6.000 - 7.500 Procyon A
G Kuning 5.000 - 6.000 Matahari
K Jingga 3.500 - 5.000 Arcturus
M Merah <3,500 Betelgeuse
Pada tahun 1943, William Wilson Morgan, Phillip C. Keenan, dan Edith Kellman dari Observatorium Yerkes menambahkan sistem pengklasifikasian berdasarkan kuat cahaya atau luminositas, yang seringkali merujuk pada ukurannya. Pengklasifikasian tersebut dikenal sebagai sistem klasifikasi Yerkes dan membagi bintang ke dalam kelas-kelas berikut :
• 0 Maha maha raksasa
• I Maharaksasa
• II Raksasa-raksasa terang
• III Raksasa
• IV Sub-raksasa
• V deret utama (katai)
• VI sub-katai
• VII katai putih
Umumnya kelas bintang dinyatakan dengan dua sistem pengklasifikasian di atas. Matahari kita misalnya, adalah sebuah bintang dengan kelas G2V, berwarna kuning, bersuhu dan berukuran sedang.
Diagram Hertzsprung-Russell adalah diagram hubungan antara luminositas dan kelas spektrum (suhu permukaan) bintang. Diagram ini adalah diagram paling penting bagi para astronom dalam usaha mempelajari evolusi bintang.
Penampakan dan Distribusi
Karena jaraknya yang sangat jauh, semua bintang (kecuali Matahari) hanya tampak sebagai titik saja yang berkelap-kelip karena efek turbulensi atmosfer Bumi. Diameter sudut bintang bernilai sangat kecil ketika diamati menggunakan teleskop optik landas bumi, hingga diperlukan teleskop interferometer untuk dapat memperoleh citranya. Bintang dengan ukuran diameter sudut terbesar setelah Matahari adalah R Doradus, dengan 0,057 detik busur.
Sebuah katai putih yang sedang mengorbit Sirius (konsep artis). citra NASA.
Telah lama dikira bahwa kebanyakan bintang berada pada sistem bintang ganda atau sistem multi bintang. Kenyataan ini hanya benar untuk bintang-bintang masif kelas O dan B, dimana 80% populasinya dipercaya berada dalam suatu sistem bintang ganda atau pun multi bintang. Semakin redup bintang, semakin besar kemungkinannya dijumpai sebagai sistem tunggal. Dijumpai hanya 25% populasi katai merah yang berada dalam sebuah sistem bintang ganda atau sistem multi bintang. Karena 85% populasi bintang di galaksi Bimasakti adalah katai merah, maka tampaknya kebanyakan bintang di dalam Bimasakti berada pada sistem bintang tunggal.
Sistem yang lebih besar yang disebut gugus bintang juga dijumpai. Bintang-bintang tidak tersebar secara merata mengisi seluruh ruang alam semesta, tetapi terkelompokkan ke dalam galaksi-galaksi bersama-sama dengan gas antarbintang dan debu. Sebuah galasi tipikal mengandung ratusan miliar bintang, dan terdapat lebih dari 100 miliar galaksi di seluruh alam semesta teramati.[7]
Astronom memperkirakan terdapat 70 sekstiliun (7×1022) bintang di seluruh alam semesta yang teramati[8]. Ini berarti 70 000 000 000 000 000 000 000 bintang, atau 230 miliar kali banyaknya bintang di galaksi Bimasakti yang berjumlah sekitar 300 miliar.
Bintang terdekat dengan Matahari adalah Proxima Centauri, berjarak 39.9 triliun (1012) kilometer, atau 4.2 tahun cahaya. Cahaya dari Proxima Centauri memakan waktu 4.2 tahun untuk mencapai Bumi. Jarak ini adalah jarak antar bintang tipikal di dalam sebuah piringan galaksi. Bintang-bintang dapat berada pada jarak yang lebih dekat satu sama lain di daerah sekitar pusat galasi dan di dalam gugus bola, atau pada jarak yang lebih jauh di halo galaksi.
Karena kerapatan yang rendah di dalam sebuah galaksi, tumbukan antar bintang jarang terjadi. Namun di daerah yang sangat padat seperti di inti sebuah gugus bintang atau lingkungan sekitar pusat galaksi, tumbukan dapat sering terjadi[9] . Tumbukan seperti ini dapat menghasilkan pengembara-pengembara biru yaitu sebuah bintang abnormal hasil penggabungan yang memiliki temperatur permukaan yang lebih tinggi dibandingkan bintang deret utama lainnya di sebuah gugus bintang dengan luminositas yang sama. Istilah pengembara merujuk pada jejak evolusi yang berbeda dengan bintang normal lainnya pada diagram Hertzsprung-Russel.
Evolusi
Struktur, evolusi, dan nasib akhir sebuah bintang sangat dipengaruhi oleh massanya. Selain itu, komposisi kimia juga ikut mengambil peran dalam skala yang lebih kecil.
Terbentuknya bintang
Bintang terbentuk di dalam awan molekul; yaitu sebuah daerah medium antarbintang yang luas dengan kerapatan yang tinggi (meskipun masih kurang rapat jika dibandingkan dengan sebuah vacuum chamber yang ada di bumi). Awan ini kebanyakan terdiri dari hidrogen dengan sekitar 23–28% helium dan beberapa persen elemen berat. Komposisi elemen dalam awan ini tidak banyak berubah sejak peristiwa nukleosintesis Big Bang pada saat awal alam semesta.
Gravitasi mengambil peranan sangat penting dalam proses pembentukan bintang. Pembentukan bintang dimulai dengan ketidakstabilan gravitasi di dalam awan molekul yang dapat memiliki massa ribuan kali matahari. Ketidakstabilan ini seringkali dipicu oleh gelombang kejut dari supernova atau tumbukan antara dua galaksi. Sekali sebuah wilayah mencapai kerapatan materi yang cukup memenuhi syarat terjadinya instabilitas Jeans, awan tersebut mulai runtuh di bawah gaya gravitasinya sendiri.
Berdasarkan syarat instabilitas Jeans, bintang tidak terbentuk sendiri-sendiri, melainkan dalam kelompok yang berasal dari suatu keruntuhan di suatu awan molekul yang besar, kemudian terpecah menjadi konglomerasi individual. Hal ini didukung oleh pengamatan dimana banyak bintang berusia sama tergabung dalam gugus atau asosiasi bintang.
Begitu awan runtuh, akan terjadi konglomerasi individual dari debu dan gas yang padat yang disebut sebagai globula Bok. Globula Bok ini dapat memiliki massa hingga 50 kali Matahari. Runtuhnya globula membuat bertambahnya kerapatan. Pada proses ini energi gravitasi diubah menjadi energi panas sehingga temperatur meningkat. Ketika awan protobintang ini mencapai kesetimbangan hidrostatik, sebuah protobintang akan terbentuk di intinya. Bintang pra deret utama ini seringkali dikelilingi oleh piringan protoplanet. Pengerutan atau keruntuhan awan molekul ini memakan waktu hingga puluhan juta tahun. Ketika peningkatan temperatur di inti protobintang mencapai kisaran 10 juta kelvin, hidrogen di inti 'terbakar' menjadi helium dalam suatu reaksi termonuklir. Reaksi nuklir di dalam inti bintang menyuplai cukup energi untuk mempertahankan tekanan di pusat sehingga proses pengerutan berhenti. Protobintang kini memulai kehidupan baru sebagai bintang deret utama.
Deret Utama
Bintang menghabiskan sekitar 90% umurnya untuk membakar hidrogen dalam reaksi fusi yang menghasilkan helium dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi di intinya. Pada fase ini bintang dikatakan berada dalam deret utama dan disebut sebagai bintang katai.
Akhir sebuah bintang
Ketika kandungan hidrogen di teras bintang habis, teras bintang mengecil dan membebaskan banyak panas dan memanaskan lapisan luar bintang. Lapisan luar bintang yang masih banyak hidrogen mengembang dan bertukar warna merah dan disebut bintang raksaksa merah yang dapat mencapai 100 kali ukuran matahari sebelum membentuk bintang kerdil putih. Sekiranya bintang tersebut berukuran lebih besar dari matahari, bintang tersebut akan membentuk superraksaksa merah. Superraksaksa merah ini kemudiannya membentuk Nova atau Supernova dan kemudiannya membentuk bintang neutron atau Lubang hitam.